بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
"Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas keliru." (KH.Sahal Mahfud)
Segala puji hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Rahmat dan salam semoga tetap tercucur-curahkan atas Baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. 'Catatan Ringan' ini barangkali lebih tepatnya jika dikatakan hanya sekedar ringkasan dari "Catatan Pendek" KH. Sahal Mahfudz dalam pengantarnya terhadap buku "Kritik Nalar Fiqih NU" yang diterbitkan oleh Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia) NU. Penulis tertarik untuk meringkasnya—katakanlah seperti itu--menjadi 'catatan ringan' karena disamping beliau adalah termasuk salah satu ulama sepuh yang diakui kealimanya dan juga banyak diikuti, oleh warga NU khususnya—terbukti tiga kali periode berturut-turut beliau dipercaya memegang tampuk Rais Aam PBNU—juga kerana apa yang beliau katakan dalam pengantarnya ini sangat menarik dan berguna sekali untuk sekedar menyadarkan bahwa, "rumusan Fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda." Karena itu, umat Islam dituntut untuk berani mengambil langkah progresif, dinamis dan menghindari taklid buta dan perilaku sakralitas yang berlebihan terhadap rumusan Fikih ulama terdahulu agar tidak semakin terjebak ke dalam ruang stagnasi Fiqih dan kebekuan dalam berfikir yang lebih dalam. Kesadaran bahwa, Fiqih akan selalu berubah disebabkan berubahnya situasi-kondisi pun menjadi keniscayaan.
Sekilas Tentang Beliau
Nama lengkap beliau adalah KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz. Beliau di lahirkan di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937; umur 74 tahun. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2000-2005 dan 2005-2010. Kemudian, dalam Muktamar NU di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu(27/3), beliau untuk ketiga kalinya kembali dipercaya menjadi Rais Am PBNU masa bakti 2010-2015. Disamping beliau adalah ulama sepuh yang alim beliau juga ulama yang bersahaja dan tawadhu' alias rendah hati dengan kealimanya itu. Kiai yang memiliki isteri Dra. Hj. Nafisah Sahal ini pernah menimba ilmu agama di Mekah dibawah bimbingan langsung Syekh Yasin Al Fadani. Beliau adalah termasuk ulama yang—menurut penulis--tergolong produktif. Banyak karya tulis beliau yang sampai saat ini masih terus ditelurkan. Karya-karyanya diantaranya adalah:
1. Thariqat al Hushul ila Ghayah al Ushul (
"Catatan Pendek" KH. Sahal Mahfud.
"Bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih). Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid" karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning. (Kritik Nalar Fiqih NU, hal. XIV-XV)
Lebih lanjut beliau mengatakan, "Rumusan "fiqih baru" ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'I (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath al Ahkam di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan sikap dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya." (Kritik Nalar Fiqih NU, hal. XV-XVI).
Apa yang dikatakan oleh KH. Sahal Mahfud diatas patut kita apresiasi yang sebesar-besarnya. Melalui tulisanya ini beliau hendak menyadarkan kita bahwa, ternya masih ada persoalan-persoalan baru yang hukumnya belum dibahas oleh ulama terdahulu. Hal demikai sangatlah logis dan terbukti secara akademis karena bagaimanapun roda kehidupan manusia senantiasa berdinamika sehingga menjadi keniscayaan munculnya problematika baru di kancah kehidupan manusia yang belum pernah ada pada masa klasik. Katakanlah semisal hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat mushhaf al-Qur'an. Masih terekam dalam ingatan ketika dalam suatu forum bahstul masail yang penulis ikuti yang kebetulan permasalahan HP yang ada Qur'an-nya ini menjadi deskripsi masalahanya. Ketika itu para peserta tidak ada yang sanggup menyodorkan ibarât (dalil) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab klasik yang akhirnya berujung dimauqufkanya (diberhentikan pembahasanya) permasalahan tersebut. Ini logis karena pada masa klasik HP memang belum lahir kedunia.
Oleh karena itu menurut beliau, disamping kita bermazhab secara qauliy (hukum), kita juga harus bermazhab secara manhajiy (metodologis). Dengan cara bermazhab secara manhajiy inilah yang memungkinkan fiqih akan bersinar kembali. Sependek pengamatan penulis, selama ini fiqih lebih berkutat dalam ruang sempit. Sedang untuk peranya keranah publik agaknya telah mengalami kemandegan yang cukup signifikan. Padahal seharusnya fiqih bisa mengatur kehidupan manusia dalam setiap lininya, karena, pada prinsipnya fiqih adalah bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah yang notabene diturunkan untuk semua umat manusia (bukan hanya umat Islam) untuk mengatur seluruh aspek berkehidupan. Namun ironi, agaknya anjuran KH. Sahal Mahfud agar umat Islam—NU khususnya—bermazhab secara manhajiy kurang mendapatkan respon antusias. Ini dibuktikan dengan masih minimnya perhatian terhadap kajian ushul fiqih yang merupakan mesin pemproduksi hukum-hukum fikih. Ntah karena apa, agaknya mereka lebih perhatian terhadap fiqih daripada ushulnya. Demi furû' (fiqih) mereka telah mengorbankan ushul (ushul fiqih). Jarang kita jumpai forum bahstul masail yang berorientasi manhajiy, yang sering kita jumpai adalah bahsul masail qauliy. Memang benar, meteri ushul fiqih telah diajarkan di dunia pesantren, namun agaknya, perhatian yang diberikan cenderung kurang sebanding dengan tugas yang harus diemban ushul fiqih tersebut.
Lebih jauh beliua mengatakan ketika—katakanlah secara mudahnya—meng-interpretasikan perkataan KH. Wahab Hasbullah, "Pekih itu klo rupek ya diokeh-okehkan". Kata KH. Sahal, "Pernyataan ini memnag kelakar tapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan prodok ijtihadiy. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah "al-Ilmu bi al-ahkâm al-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshiliyyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (yang digali) menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis…. Semua itu menunjukan bahwa fiqih "produk ijtihadiy". Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatar belakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidîn) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur'an dan Hadits) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks likungan keduanya baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. (Kritik Nalar NU, hal. XX).
Penulis ingin menggaris bawahi pernyataan beliau "Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas keliru". Karena menurut hemat penulis, disamping perilaku mensyakralkan fiqih bisa melahirkan taklid buta dan juga fanatisme bermazhab yang akan mengurangi kepekaan terhadap perkembangan zaman, perilaku tersebut juga menjadi salah satu penyebab keengganan mereka untuk lebih memperhatikan ushulnya. Padahal ushul (pokok)—menurut penulis—lebih penting dari furû'-nya (cabang). Ketika mereka telah meyakini bahwa rumusan fiqih ulama klasik yang tertuang dalam Kutub al-Mu'tabarah adalah kebenaran mutlak dan telah lengkap menyentuh keseluruh kehidupan dan zaman maka bisa dipastikan mereka akan mengesampingkan ushul fiqih atau minimal kurang perhatianya mereka terhadap usul fiqih tersebut yang pada giliranya ushul fiqih akan mengalami kemandegan yang signifikan. Dan jika ushul fiqh telah mengalami kemandekan maka bisa dipastikan fiqih tidak akan pernah mengalami perkembangan dan tidak akan pernah ditemukan "fiqih baru" yang senafas dengan zaman. Sedang di satu sisi tinggal menunggu keusangan dan kebekuan fiqih yang diproduksi jauh sebelumnya. Ushul fiqih adalah pabrit atau mesin pemproduksi hukum-hukum fiqih. Maka, jika pabrit itu telah mandek tidak beroprasi maka dipastikan disana tidak akan pernah terjadi produksi lagi.
Itu hanya sekelumit saja dari problematika fiqih dan ushul fiqih. Yang seharusnya fiqih klop dan konpatible dengan ushulnya namun agaknya keduanya justru saling berpunggungan. Ibarat ushul menghendaki kearah kanan, maka fiqih pada saat ini justru ke arah kiri—waluapun tidak semuanya. Penyempitan, pereduksian dan pengkotakan kriteria kitab mu'tabar kedalam kitab-kitab klasik dan kitab-kitab mazhab empat-pun semakin menambah ketimpangan ini—bahkan yang lebih parah lagi jika kriteria mu'tabar disempitkan lagi menjadi kitab-kitab syafi'iyyah semata. Menurut KH. Sahal, kriteria semacam itu tidak senafas dengan semangat dengan fiqih sebagai produk ijtihad. Katanya, "Dalam konteks ini pula maka criteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihâd yâ yunqadhu bi al-ijtihâd" diatas….Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab tawasul kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan. (Kritik Nalar Fiqih NU, hal. XX-XXI)
Untuk mengakhiri catatan ringan ini saya ingin menampilkan pernyataan beliau tentang muara fiqh. Ketika kita telah sadar akan perlunya "fiqih baru" maka kita harus mengetahui bahwa, "fikih baru" tersebut harus senafas dengan keadilan. Namun, kompleksitas kehidupan manusia menjadi kendala tersendiri ketika hendak mendefinisikan dan mengkatagorikan seperti apakah keadilan tersebut. Maka menjadi sangat penting kirang usaha untuk menggali arti keadilan yang seirama dengan zaman. Beliau mengatakan: "Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa, muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata :”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri, dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin”. Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim, meskipun (negara) Muslim”. dalam kerangka berfikir ini, seandainya ada produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat, maka harus ditinggalkan…Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru”. ( Kritik Nalar Fiqh NU, hlm. XXII).
Sekian dari saya. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam catatan ringan ini. Dan semoga apa yang telah KH. Sahal Mahfud sampaikan yang kemudian penulis tuangkan kedalam catatan ringan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terimakasih atas perhatinaya. Wallahu a'lam bishshawâb..
0 komentar:
Posting Komentar